Tuesday, September 24, 2013

Rumah Dalam Gang

Dulu ketika masih kecil, aku suka berkhayal  tinggal di rumah yang letaknya di sebuah gang. Dengan posisi rumah berdempet-dempet, tanpa pagar. Dan tentu saja dengan segala keributan yang menghiasinya, lagu-lagu atau drama radio yang berasal dari radio transistor, suara teriakan emak-emak, suara tangis anak-anak, suara bapak-bapak yang marah-marah pada anak atau isterinya, suara kucing bertengkar, dan suara-suara lainnya. Dalam alam pikiran masa kanak-kanakku, membayangkan semua keriuhan itu sangat menyenangkan -terasa hidup. Tapi yang lebih membuat aku sangat ingin tinggal di dalam gang, karena kupikir anak-anak bisa bermain sepanjang hari dan tidak takut pulang kemalaman atau hilang diculik orang.

Jalan Sei Deli dengan latar belakang rel kereta api.
Jarak rel kereta api ke rumahku sekitar 300 meter.
Foto : hariansumutpos.com


Khayalanku itu bermula karena aku dan tiga saudaraku, tinggal di sebuah rumah kecil di tanah yang sangat luas. Luas tanah yang kami tempati itu berkisar 4.000m2. Sementara luas rumah yang kami tempati sekitar 60m2. Kebayangkan seperti apa jadinya.

Rumah itu terletak di Jalan Sei Deli, Desa Silalas, Kecamatan Medan Barat, Medan, Sumatera Utara. Sei untuk orang Sumatera Utara artinya sungai. Nama ini disematkan karena di sepanjang jalan bersisian dengan Sungai Deli yang membelah kota Medan. Sungai itu terletak persis di seberang jalan depan rumahku. Kami pindah ke kawasan ini sekitar tahun 1978 - saat aku berusia sekitar 3 tahun.

Jalan Sei Deli ini sangat sepi. Utamanya yang dekat kawasan rumahku, karena rumah-rumah penduduk masih agak jarang. Tiap-tiap rumah memiliki halaman yang cukup luas, sehingga jarak satu rumah dengan rumah lainnya berjauhan. Selain itu, masih banyak kebun dan semak-semak. Suara daun-daun bambu yang berjuntai ke sungai - di sepanjang pinggiran sungai - menimbulkan suara gemerisik yang cukup membuat suasana sepi semakin menggigit dan cenderung menyeramkan jika sudah lewat maghrib. Jika malam menjelang dan tak ada sinar bulan, maka akan gelap gulitalah jalan - karena tak ada lampu jalan di sana.

Kawasan rumahku ini dekat dengan rel kereta api. Tapi rel ini hanya dilalui oleh kereta-kereta pengangkut sawit atau barang-barang, bukan kereta penumpang. Kawasan rel ini terkenal dengan hal-hal yang berbau mistis dan kriminal. Kalau sudah magrib, diberi ongkos berapapun tak ada tukang becak dayung atau becak bermotor yang mau mengantarkan penumpang ke kawasan ini. Selain gelap, jalannya juga banyak yang berlubang. Lengkaplah sudah kesepian kawasan ini. Pernah suatu Minggu pagi, seorang bapak yang tengah lari pagi dirampok persis di depan rumahku.

Di halaman depan rumah kami, terdapat rumah tua kosong. Di rumah inilah papaku dilahirkan. Rumah panggung bergaya Melayu dengan dua kamar. Ada serambinya yang diberi pagar dengan ornamen melayu yang sangat indah. Rumah panggung itu tidak dicat - tetapi kayunya sangat kuat dan indah. Kolong rumah itu sangat tinggi, mungkin sekitar hampir dua meter. Saban hari Jumat, kolong rumah yang berlantai semen dan dipagari beton setinggi setengah meter itu dipakai buat mengaji para ibu-ibu yang umumnya bersuku Mandailing dan juga tetangga sekitar rumah. Maklumlah, dulu pengajian itu diisi oleh almarhum atok (kakek) -ayahnya papaku. Setelah atok meninggal, tradisi mengaji saban Jumat itu tetap berlanjut dengan diganti oleh ustad yang lain. Kolong rumah itu sejuk sekali. Sekali waktu, karena bermain tutup mata, bibirku pecah terantuk salah satu tiang rumah.

Dalam ingatanku, rumah panggung itu hanya dihuni oleh seorang kakek bernama Wak Malaya - dia tukang becak dayung yang saban hari mengantar dan menjemput kami sekolah. Wak Malaya tinggal di kamar belakang, sedangkan kamar depannya hanya digunakan sebagai tempat menyimpan tikar-tikar pengajian Jumatan. Tak ada listrik di rumah itu. Wak Malaya hanya menggunakan lilin atau lampu teplok untuk penerangan. Wak Malaya hidup sebatang kara. Entah karena ingin menakuti agar kami tak bermain di rumah itu, papaku sering bercerita, selalu ada suara orang naik dan turun tangga pada malam hari, tapi orangnya tidak kelihatan. Sayangnya, ketika aku kelas 3 SD, rumah panggung itu dirubuhkan, karena papaku memperbesar rumah yang kami tempati. Wak Malaya juga sudah tak mendiami rumah panggung itu, karena sakit-sakitan dan kemudian memutuskan kembali ke kampong halamannya - entah di mana.

 
 
Di halaman depan samping sebelah kanan rumahku, terdapat 2 pohon duku, 1 pohon rambutan, 1 pohon jambu batu, beberapa pohon mengkudu, 1 pohon buah renda (carissa carandas) atau di Malaysia disebut buah keradang. Buah renda ini awalnya berwarna putih kemudian kemerahan dan jika sudah matang berwarna hitam. Rasanya asam manis. Jika memakannya, lidah kita akan berwarna merah kehitaman. Buah renda in suka dibuat manisan. Ada juga 2 pohon nam nam (cynometra cauliflora ). Pohon nam nam ini masuk pada jenis tanaman langka. Buahnya menempel pada batangnya. Bijinya berkeping dua, sebelum matang, warnanya hijau dan jika sudah matang akan berwarna kekuning-kuningan. Rasanya asam getir. Bentuknya setengah lingkaran dengan tekstur kulitnya seperti jeruk purut. Aku suka memakannya dengan garam - untuk menghilangkan rasa asamnya.


Beragam bunga baik yang ditanam dan liar, tumbuh dengan rimbun. Halaman samping kanan ini terbilang luas, sehingga jarak rumahku dengan rumah tetangga sebelah agak berjauhan - sekitar 20 meter. Ada pagar kawat yang membatasi tanah kami dengan rumah tetanggaku itu. Di halaman samping ini, ada satu ayunan yang dibuatkan papa untuk kami. Ayunan yang menjadi rebutan dan menjadi bahan pertengkaran aku dan saudara-saudaraku.

Di halaman depan samping kiri, hanya ada pohon-pohon salak. Tidak begitu luas jika dibandingkan dengan sisi halaman samping kanan. Entah siapa yang menanamnya. Pohon salak ini menjadi pagar antara tanah kami dengan tetangga sebelah kiri. Sepanjang ingatanku, pohon salak ini tak pernah berbuah.

Selain halaman samping kiri, halaman belakang atau kebun belakang adalah surga buah-buahan. Pohon duku, rambutan, jambu air, jambu bol, jambu batu, sawo, rukam (flacourtia rukam),  sampai dengan segala temu-temuan, dari temu kunci sampai temu itam. Jika sudah musim buah, kami akan jadi juragan buah. Pedagang buah akan datang silih berganti membeli bermacam buah. Bahkan kadang ada yang membeli dengan hitungan perpohon, bukan perkilo. Pedagang yang membeli buah dengan hitungan pohon biasanya akan membuat gubuk kecil sebagai tempat tinggal sementara di kebun kami. Karena jika tidak dijaga, tak jarang buah-buahan itu dicuri. Tak tanggung, biasanya para pencuri ini mencuri dengan nyaris menggunduli semua buah. Pohon rambutan dan duku merupakan pohon favorit para pencuri. Musim buah duku dan rambutan akan datang di sekitar pertengahan tahun.

Kalau sudah panen sawo, aku dan saudara-saudaraku akan sangat senang sekali, karena kami akan mendapat upah dari umiku (ibu) Rp 5 untuk setiap buah sawo yang kami cuci dengan menggunakan sabut kelapa - agar buah sawo kelihatan cantik ketika sudah matang selain itu harga jual akan lebih tinggi. Agar cepat matang, buah sawo kami peram di dalam karung berisi beras. Selain itu ada juga beberapa buah yang tidak bisa dimakan tetapi menjadi salah satu favorit kami untuk bermain, buah saga mata kucing dan buah saga merah.

Pohon lainnya yang menjadi favorit kami adalah pohon buah buni (Antidesma bunius). Buahnya kecil-kecil bergerombol seperti anggur. Jika sudah matang, buah akan berwarna hitam. Sama seperti buah renda, jika memakan buah buni lidah dan bibir kita akan berwarna kehitaman. Umi akan marah besar jika warna dari buah ini menempel di baju.

Pohon buni ini berada di kebun depan. Kebun depan merupakan Tanah yang berada di seberang jalan rumah dan bersisian langsung dengan sungai. Lokasi ini sebenarnya terlarang bagi kami. Karena umiku sangat takut jika kami pergi mandi ke sungai. Pasalnya,  sering sekali orang-orang hanyut dan terdampar di sekitar tepian sungai yang bersisian dengan kebun kami. Dalam ingatanku, seorang anak laki-laki yang hanyut dan ditemukan sudah dalam keadaan tubuh yang agak rusak. Sehingga terpaksa dikafani di kebun kami.

Jika sekarang kembali ke kawasan rumahku ini, hanya sedikit rumah yang bisa ditemui. Selebihnya sudah ditembok tinggi. Seperti bekas tanah yang pernah kami tinggali, kini akan dibangun hotel yang bersambung dengan restoran gede plus juga showroom mobil ( begitu katanya ). Sedih jika pulang ke Medan dan melewati bekas rumah kami itu. Papaku dan keluarganya menjual tanah tersebut karena nyaris seluruh tetangga sudah menjual tanahnya. Kami jadi terjepit di antara tembok-tembok. Tahun 2009 kami resmi pindah dari kawasan itu.

Sekarang, aku tinggal di Jakarta setelah menetap di Banda Aceh 3 tahun terakhir pasca hijrah dari Bali di tahun 2009. Mulanya hanya aku yang pindah ke Jakarta karena tuntutan pekerjaan, anak-anak menyelesaikan tahun ajaran sekolahnya yang tinggal di penghujung. Aku kos di sekitar kantor dan tebak, kosanku berada dalam Gang. Yippiee....khayalan masa kecilku terwujud dong.  Tapi ternyata oh ternyata, tinggal dalam gang tak seperti dalam impian masa kecilku. Semua khayalan masa kecilku hancur luluh, oh.

Melihat anak-anak yang tumbuh dan berkembang di gang tempat kosku itu membuatku sangat bersyukur. Meski mereka tetap bermain engklek, tapi terpaksa harus minggir atau bahkan bubar begitu ada motor, mobil atau bajaj yang lewat. Mereka terpaksa bermain di jalan dan gang-gang sempit karena tak ada lagi ruang yang disebut halaman rumah untuk tempat bermain. Susah dan sedih menjadi anak-anak yang lahir di kota-kota besar - khususnya Jakarta.




Anak-anak bermain engklek dan monopoli di sisa ruang yang ada. Foto : Raihan Lubis


No comments:

Post a Comment